HYANG GURU
Manikmaya adalah seorang Dewa, putra Hyang Tanggal. Dia dilahirkan berupa cahaya, bersama-sama dengan Ismaya. Manikmaya bercahaya putih gemerlapan. Bersabdalah Hyang Tunggal, bahwa Manikmaya kelak akan menguasai alam ini, karena kesaktian dan ketampanannya.
Setelah
Manikmaya menerima sabda yang demikian itu, dia pun merasa bangga dan
merasa diriya tiada cacadnya. Perasaan ini diketahui dari Hyang tunggal
dan dia pun bersabda, “Hai, Manikmaya, ketahuilah, bahwa engkau akan
mendapatkan cacad pada dirimu, ialah berupa belang di leher, lemah di
kaki, caling di mulut dan bertangan empat.”
Manikmaya
menyesal dan merasa bersalah, bahwa dia telah merasa begitu tekebur di
dalam hati. Sabda Hyang Tunggal memang menjadi kenyataan.
Pada
waktu Nabi isa lahir, Manikmaya datang menyaksikan. Demi dilihatnya,
bahwa bayi berumur sebulan belum bisa berjalan, keadaan yang berbeda
sekali dengan para Dewa, maka apa yang disaksikannya itu dianggapnya
sebagai sesuatu yang tak sempurna. Seketika itu juga Manikmaya mendapat
tulah dan kaki kirinya menjadi lemah.
Suatu
ketika Manikmaya merasa-sangat dahaga. Maka dilihatnya sebuah telaga
yang teramat jernih airnya. Pergilah dia ke situ untuk
minum.
Tetapi begitu air hendak diteguknya, terasa olehnya, bahwa air itu
berbeda dan dimuntahkannya kembali. Pada saat itulah Manikmaya mendapat
cacad belang di leher. Manikmaya kena sumpah permaisurinya, Dewi Uma
yang menginginkan, supaya Manikmaya menjadi bercaling seperti raksasa.
Seketika itu juga bercalinglah Manikmaya seperti raksasa. Sumpah Dewi
Uma disebabkan karena Manikmaya pada waktu itu tak dapat menahan
nafsunya.
Ketika Hyang Manikmaya melihat
orang bersembahyang dengan menyelimutkan bajunya, dia tertawa oleh
karena mengira bahwa orang itu bertangan empat. Seketika itu juga tubuh
Hyang Manikmaya bertangan empat.
Menjadi kepercayaan di dalam pewayangan, bahwa Hyang Manikmaya melambangkan halusnya batin manusia.
Kemurkaan
Betara Guru ada disebut di dalam lakon Sasikirna. Kependekan ceritanya
sebagai berikut: Istana negara Astina kemasukan maling sakti yang
ingin berkenalan dengan Dewi Dursilawati, putri Raja Suyudana. Maling
itu demikian saktinya, hingga tak ada yang bisa mengalahkannya. Dewa
pun tak bisa.
Tersebutlah Raden Caranggana
di Awu-awu Langit, anak Raden Arjuna yang datang ke negara Dwarawati
dalam usahanya untuk bertemu dengan bapaknya. Bersabdalah Sri Kresna,
bahwa Raden Arjuna akan mengakui Caranggana sebagai anaknya, bila dia
bisa menangkap maling di Astina itu.
Raden Caranggana berhasil menangkap maling yang sesungguhnya tak lain daripada Betara Guru.
Di
sini kita jumpai suatu bukti, bahwa kekuatan batin manusia yang
disalah gunakan akhirnya akan dikalahkan juga oleh kebenaran. Jadi
secara kias batin pun bisa menjurus ke arah yang salah dan tidak benar.
Betara Guru bisa berkelakuan sebagai manusia biasa dengan segala
kekurangan kekurangannya
Hyang Guru pernah
menjadi raja di Medangkemulan, bergelar Sri Paduka Raja Mahadewabuda.
Sebabnya mengapa Manikmaya disebut Guru ialah oleh karena dia berusaha
mengembangkan agama Budha. Di antara nama-nama Betara Guru banyak yang
berpangkal pada kekuasaannya, tetapi oleh Hyang Tunggal dia tak
diizinkan menggunakan nama Sang Hyang Wenang, oleh karena kekuasaan
Guru masih terbatas. Wenang berarti kekuasaan yang tak terbatas.
Wayang Betara Guru beroman muka tiga macam: Karna, Cancihi, dan Gana.
Matanya
jaitan (bentuknya seperti dijahit). Mata berbentuk demil dalam bahasa
Jawa di sebut njait. Hidungnya mancung, mulutnya tertutup. Tangannya
empat, dan dua berdekap dari yang dua lagi memegang senjata Trisula dan
panah. Ia berdiri di atas Lembu Andhini. Selanjutnya dia bermahkota
topeng, berjamang tiga susun, bergaruda membelakang, bersunting
waderan, berselendang dan berkain.
Konon
menurut cerita orang, wayang Betara Guru adalah buah ciptaan Panembahan
Senapati di Mataram dan dimaksudkan sebagai candrasangkala
(perhitungan angka tahun). Kalimat yang menyatakan waktu pembikinan
wayang berbunyi Dewi dadi ngecis bumi dan adalah sama dengan 1451 tahun
Jawa.
Menurut kepercayaan Jawa, lebih-lebih
lagi kepercayaan dalang, maka wayang Betara Guru sangat dihormati dan
dianggap sebagai wayang yang paling keramat. Oleh karena itu pun wayang
Betara Guru dibedakan dari wayang-wayang lainnya. Misalnya saja hanya
wayang Betara Gurulah yang diselubungi kain indah. Demikian pula
sebelum dimainkan, wayang ini dikenakan asap dupa lebih dulu dan orang
pun takut melangkahi batang pisang bekas menancapkan wayang Betara
Guru.
Kepercayaan mengenai tokoh-tokoh
wayang disebut pengetahuan pengiwa, kiri apabila berhubungan dengan
tokoh-tokoh dewa dan disebut pengetahuan penengen, kanan, apabila
berhubungan tokoh-tokoh lainnya yang bukan Dewa.
Kepercayaan ini sangat mendalam dan diketahui orang secar merata mulai dari anak-anak hingga pada orang-orang dewasa, yang umumnya dengan jelas dapat mengkhayalkan tokoh-tokoh wayang yang indah dan yang bila ditampilkan di depan kelir oleh dalang, selalu diiringi bunyi gamelan yang merdu.
Penabuh-penabuh memainkan
gamelan menurut pathet-pathet patokan-patokan tertentu, seperti pathet
enan, pathet sembilan, pathet menyura. Setiap pathet menghasilkan suara
yang berlain-lainan tetapi ini terlalu mendalam untuk dapat diuraikan
di dalam buku yang tidak secara khusus membicarakan tentang gamelan.
Yang perlu diketahui ialah, bahwa gamelan mampu mencerminkan perasaan
suka duka, gembira, bangga, dan lain-lain.
Wayang
berbagai-bagai wanda, roman mukanya, ini dapat dibeda bedakan menurut
waktu, ketika wayang dimainkan, sore, malam, dan juga menurut semangat
ceritanya, pada waktu sedang tenang atau pada waktu sedang murka.
Hal-hal
mengenai wanda merupakan pengtahuan tersendiri dan teruntuk bagi
mereka yang mengkhususkan diri dalam soal soal perwayangan. Tetapi
sesungguhnyalah kalau wayang-wayang yang bersamaan wanda dan berbeda
wanda dijajarkan, akan nampak perbedaan satu sama lainnya.
Gambar
wayang Betara Guru dalam buku ini dimaksudkan sebagai berhadapan muka
dengan orang yang melihatnya ini dapat ditilik dari cara kaki berdiri,
tetapi karena diujudkan berupa wayang, maka Betara Guru pun
diperlihatkan miring.
LEMBU ANDHINI
Lembu
Andhini adalah seekor lembu betina, anak raja jin bernama Patanam.
Karena ingin menguasai alam ini, bertapalah dia dan dipuja puja oleh
penduduk di sekelilingnya. Akhirnya orang pun beranggapan, bahwa Lembu
Andhini adalah Dewa juga.
Betara Guru
mengetahui hal ini. Maka Lembu Andhini pun dikalahkannya dan
dijadikannya kendaraan yang tak terpisah dari padanya, bahkan yang
sejiwa juga dengannya (Lihat gambar). Tapi Lembu Andhini tak merasa
senang diperlakukan demikian dan tak henti-hentinya dia berdaya-upaya
untuk membalas dendam. Akhirnya Lembu Andhini menemukan akal untuk
mengadudombakan Betara Guru dengan permaisurinya, hingga mereka sampai
berperang. Sesudah permaisurinya dikalahkannya, menjadi tahulah Betara
Guru bahwa berperangnya dengan permaisurinya itu adalah karena
perbuatan Lembu Andhini sendiri. Menjadi murkalah Betara Guru.
Disumpahinya Lembu Andhini sehingga berobah menjadi pelangi.
Takhayul mengatakan, bahwa pelangi berkepala lembu dan kalau dia kelihatan maka saat itu Lembu Andhini sedang minum air laut.
Sesudah
kehilangan kendaraannya, Betara Guru merasa lemah, tetapi dia segera
mendapat gantinya berupa seekor lembu jantan bernama Andana, anak
seorang raksasa bernama Gopatama. Kemudian nama Andana digantinya
dengan Andhini seperti kendaraannya yang semula.
Lembu
hutan disebut banteng dan lebih besar serta lebih kuat daripada lembu
biasa. Di dalam cerita wayang, banteng yang marah karena terluka lebih
berbahaya daripada lembu biasa. Maka itu pun seseorang yang berperang
dengan gagah berani diumpamakan sebagai banteng terluka atau dalam
bahasa Jawanya: Lir banteng ketaman kanin.
Banyak arca-arca dalam bentuk lembu berbaring yang tentunya diilhami oleh Lembu Andhini itu.
Menurut
cerita, zaman dahulu lembu digunakan sebagai kendaraan, karena lembu
sangat patuh dan kuat berjalan di tempat tempat yang sukar, sehingga
layak untuk dijadikan kendaraan para pendeta.
Kata
lembu juga banyak dipakai di dalam nama orang orang kenamaan. Seperti,
misalnya, Lembuamiluhur, seorang raja di negara Jenggala; Lembupeteng,
seorang keturunan raja yang hidup bersembunyi dan Lembusura, seorang
raja raksasa di Gua Kiskenda, dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment