Iek Adassutisna

Wednesday, November 6, 2013

Batara-Batari Wayang

 Batara-Batari (Dewa-Dewi) dalam pewayangan merupakan Dewa-Dewi yang muncul dalam mitologi agama Hindu di India, dan diadaptasi oleh budaya Jawa. Dewa dalam budaya Jawa disebut sebagai Batara (pria) atau Batari (perempuan). Menurut cerita R.A. Kosasih, kehidupan berawal dari Adam/Sang Hyang Adhama dan Hawa, kemudian dia menurunkan Nabi Sis, lalu menurunkan Anwar yang nantinya menurunkan para Hyang. Lalu menurunkan Hyang Nur Cahya, bertempat tinggal di puncak gunung Mahameru. Hyang Nur Cahya menurunkan Nurasa, lalu menurunkan Hyang Wenang, lalu Hyang Tunggal dan berikutnya terciptalah dewata.


Genealogi Batara awal

  1. Sang Hyang Adhama
  2. Sang Hyang Sita
  3. Sang Hyang Nurcahya
  4. Sang Hyang Nurrasa
  5. Sang Hyang Wenang
  6. Sang Hyang Tunggal & Dewi Wardani

Batara generasi awal

Generasi awal ini terlahir dari bagian telur. Menurut R.A. Kosasih, urutannya dimulai dari Ismaya, Antaga, Manikmaya. Hanya kepada Manikmayalah Keturunan berikutnya di teruskan.
  • Sang Hyang Antaga, berasal dari kulit telur. Merasa dirinya lebih penting dari ketiganya, dia beradu ilmu dan sempat kalah. Tidak terima kekalahannya, dia menantang saudaranya beradu ilmu terakhir yaitu menelan gunung tetapi dia gagal dan berakibat dirinya seperti sekarang. Antaga kemudian diberikan nama Togog. Diberikan tugas untuk berada di sisi kejahatan dan mengembalikannya kesisi yang benar.
  • Sang Hyang Manikmaya, berasal dari kuning telur. Yang menjadi pemimpin dan bapak para batara-batara selanjutnya. Gelarnya banyak salah satunya batara Guru.
  • Sang Hyang Ismaya, berasal dari putih telur yang nantinya akan menjadi Semar. Merasa sombong dengan kekuatannya, dia beradu ilmu dengan Antaga dan akhirnya dirinya terkena kutukan menjadi bentuk Semar seperti sekarang.
Walaupun dalam kehidupan nantinya mereka akan berpisah dan mengabdi pada orang yang berbeda, tetapi mereka memiliki satu tugas penting yaitu menjaga keseimbangan dunia. Di masa depan akan banyak muncul ketidakseimbangan dunia seperti ulah Rahwana hingga perang Mahabaratha, tetapi semua itu adalah sebuah proses keseimbangan dunia yang sudah diatur.

 Batara generasi selanjutnya

Keturunan Batara Guru dengan Dewi Uma
  1. Batara Sambu
  2. Batara Bayu
  3. Batara Brahma
  4. Batara Indra
  5. Batara Wisnu
  6. Batara Ganesha
  7. Batara Kala
  8. Anoman
Keturunan Batara Ismaya dengan Senggani

  • Batara Wungkuham
  • Batara Surya
  • Batara Candra
  • Batara Tamburu
  • Batara Siwah
  • Batara Kuwera
  • Batara Yamadipati
  • Batara Kamajaya
  • Batara Mahyanti
  • Batari Darmanastiti

Mahabharata

 Mahabharata (Sansekerta: महाभारत) adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
 Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari.
Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
 Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
 Karya sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari zaman kerajaan Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir zaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.
Dalam dunia sastera popular Indonesia, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.

Versi-versi Mahabharata

 Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.

Ramayana

 Ramayana dari bahasa Sansekerta (रामायण) Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa yang berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah Mahabharata.
Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.
Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna.
Di India dalam bahasa Sansekerta, Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda sebagai berikut:

  1. Balakanda
  2. Ayodhyakanda
  3. Aranyakanda
  4. Kiskindhakanda
  5. Sundarakanda
  6. Yuddhakanda
  7. Uttarakanda

Banyak yang berpendapat bahwa kanda pertama dan ketujuh merupakan sisipan baru. Dalam bahasa Jawa Kuna, Uttarakanda didapati pula.

Ringkasan Cerita

Prabu Dasarata dari Ayodhya

Wiracarita Ramayana menceritakan kisah Sang Rama yang memerintah di Kerajaan Kosala, di sebelah utara Sungai Gangga, ibukotanya Ayodhya. Sebelumnya diawali dengan kisah Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Dari Dewi Kosalya, lahirlah Sang Rama. Dari Dewi Kekayi, lahirlah Sang Bharata. Dari Dewi Sumitra, lahirlah putera kembar, bernama Lakshmana dan Satrugna. Keempat pangeran tersebut sangat gagah dan mahir bersenjata.
Pada suatu hari, Rsi Wiswamitra meminta bantuan Sang Rama untuk melindungi pertapaan di tengah hutan dari gangguan para rakshasa. Setelah berunding dengan Prabu Dasarata, Rsi Wiswamitra dan Sang Rama berangkat ke tengah hutan diiringi Sang Lakshmana. Selama perjalanannya, Sang Rama dan Lakshmana diberi ilmu kerohanian dari Rsi Wiswamitra. Mereka juga tak henti-hentinya membunuh para rakshasa yang mengganggu upacara para Rsi. Ketika mereka melewati Mithila, Sang Rama mengikuti sayembara yang diadakan Prabu Janaka. Ia berhasil memenangkan sayembara dan berhak meminang Dewi Sita, puteri Prabu Janaka. Dengan membawa Dewi Sita, Rama dan Lakshmana kembali pulang ke Ayodhya.
Prabu Dasarata yang sudah tua, ingin menyerahkan tahta kepada Rama. Atas permohonan Dewi Kekayi, Sang Prabu dengan berat hati menyerahkan tahta kepada Bharata sedangkan Rama harus meninggalkan kerajaan selama 14 tahun. Bharata menginginkan Rama sebagai penerus tahta, namun Rama menolak dan menginginkan hidup di hutan bersama istrinya dan Lakshmana. Akhirnya Bharata memerintah Kerajaan Kosala atas nama Sang Rama.

Rama hidup di hutan

Dalam masa pengasingannya di hutan, Rama dan Lakshmana bertemu dengan berbagai rakshasa, termasuk Surpanaka. Karena Surpanaka bernafsu dengan Rama dan Lakshmana, hidungnya terluka oleh pedang Lakshmana. Surpanaka mengadu kepada Rawana bahwa ia dianiyaya. Rawana menjadi marah dan berniat membalas dendam. Ia menuju ke tempat Rama dan Lakshmana kemudian dengan tipu muslihat, ia menculik Sinta, istri Sang Rama. Dalam usaha penculikannya, Jatayu berusaha menolong namun tidak berhasil sehingga ia gugur.
Rama yang mengetahui istrinya diculik mencari Rawana ke Kerajaan Alengka atas petunjuk Jatayu. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Sugriwa, Sang Raja Kiskindha. Atas bantuan Sang Rama, Sugriwa berhasil merebut kerajaan dari kekuasaan kakaknya, Subali. Untuk membalas jasa, Sugriwa bersekutu dengan Sang Rama untuk menggempur Alengka. Dengan dibantu Hanuman dan ribuan wanara, mereka menyeberangi lautan dan menggempur Alengka.

Rama menggempur Rawana

Rawana yang tahu kerajaannya diserbu, mengutus para sekutunya termasuk puteranya – Indrajit – untuk menggempur Rama. Nasihat Wibisana (adiknya) diabaikan dan ia malah diusir. Akhirnya Wibisana memihak Rama. Indrajit melepas senjata nagapasa dan memperoleh kemenangan, namun tidak lama. Ia gugur di tangan Lakshmana. Setelah sekutu dan para patihnya gugur satu persatu, Rawana tampil ke muka dan pertarungan berlangsung sengit. Dengan senjata panah Brahmāstra yang sakti, Rawana gugur sebagai ksatria.
Setelah Rawana gugur, tahta Kerajaan Alengka diserahkan kepada Wibisana. Sita kembali ke pangkuan Rama setelah kesuciannya diuji. Rama, Sita, dan Lakshmana pulang ke Ayodhya dengan selamat. Hanuman menyerahkan dirinya bulat-bulat untuk mengabdi kepada Rama. Ketika sampai di Ayodhya, Bharata menyambut mereka dengan takzim dan menyerahkan tahta kepada Rama.

Bathara Guru

HYANG GURU

 Manikmaya adalah seorang Dewa, putra Hyang Tanggal. Dia dilahirkan berupa cahaya, bersama-sama dengan Ismaya. Manikmaya bercahaya putih gemerlapan. Bersabdalah Hyang Tunggal, bahwa Manikmaya kelak akan menguasai alam ini, karena kesaktian dan ketampanannya.
Setelah Manikmaya menerima sabda yang demikian itu, dia pun merasa bangga dan merasa diriya tiada cacadnya. Perasaan ini diketahui dari Hyang tunggal dan dia pun bersabda, “Hai, Manikmaya, ketahuilah, bahwa engkau akan mendapatkan cacad pada dirimu, ialah berupa belang di leher, lemah di kaki, caling di mulut dan bertangan empat.”
Manikmaya menyesal dan merasa bersalah, bahwa dia telah merasa begitu tekebur di dalam hati. Sabda Hyang Tunggal memang menjadi kenyataan.
Pada waktu Nabi isa lahir, Manikmaya datang menyaksikan. Demi dilihatnya, bahwa bayi berumur sebulan belum bisa berjalan, keadaan yang berbeda sekali dengan para Dewa, maka apa yang disaksikannya itu dianggapnya sebagai sesuatu yang tak sempurna. Seketika itu juga Manikmaya mendapat tulah dan kaki kirinya menjadi lemah.
Suatu ketika Manikmaya merasa-sangat dahaga. Maka dilihatnya sebuah telaga yang teramat jernih airnya. Pergilah dia ke situ untuk
minum. Tetapi begitu air hendak diteguknya, terasa olehnya, bahwa air itu berbeda dan dimuntahkannya kembali. Pada saat itulah Manikmaya mendapat cacad belang di leher. Manikmaya kena sumpah permaisurinya, Dewi Uma yang menginginkan, supaya Manikmaya menjadi bercaling seperti raksasa. Seketika itu juga bercalinglah Manikmaya seperti raksasa. Sumpah Dewi Uma disebabkan karena Manikmaya pada waktu itu tak dapat menahan nafsunya.
Ketika Hyang Manikmaya melihat orang bersembahyang dengan menyelimutkan bajunya, dia tertawa oleh karena mengira bahwa orang itu bertangan empat. Seketika itu juga tubuh Hyang Manikmaya bertangan empat.
Menjadi kepercayaan di dalam pewayangan, bahwa Hyang Manikmaya melambangkan halusnya batin manusia.
Kemurkaan Betara Guru ada disebut di dalam lakon Sasikirna. Kependekan ceritanya sebagai berikut: Istana negara Astina kemasukan maling sakti yang ingin berkenalan dengan Dewi Dursilawati, putri Raja Suyudana. Maling itu demikian saktinya, hingga tak ada yang bisa mengalahkannya. Dewa pun tak bisa.
Tersebutlah Raden Caranggana di Awu-awu Langit, anak Raden Arjuna yang datang ke negara Dwarawati dalam usahanya untuk bertemu dengan bapaknya. Bersabdalah Sri Kresna, bahwa Raden Arjuna akan mengakui Caranggana sebagai anaknya, bila dia bisa menangkap maling di Astina itu.
Raden Caranggana berhasil menangkap maling yang sesungguhnya tak lain daripada Betara Guru.
Di sini kita jumpai suatu bukti, bahwa kekuatan batin manusia yang disalah gunakan akhirnya akan dikalahkan juga oleh kebenaran. Jadi secara kias batin pun bisa menjurus ke arah yang salah dan tidak benar. Betara Guru bisa berkelakuan sebagai manusia biasa dengan segala kekurangan kekurangannya
Hyang Guru pernah menjadi raja di Medangkemulan, bergelar Sri Paduka Raja Mahadewabuda. Sebabnya mengapa Manikmaya disebut Guru ialah oleh karena dia berusaha mengembangkan agama Budha. Di antara nama-nama Betara Guru banyak yang berpangkal pada kekuasaannya, tetapi oleh Hyang Tunggal dia tak diizinkan menggunakan nama Sang Hyang Wenang, oleh karena kekuasaan Guru masih terbatas. Wenang berarti kekuasaan yang tak terbatas.
Wayang Betara Guru beroman muka tiga macam: Karna, Cancihi, dan Gana.
Matanya jaitan (bentuknya seperti dijahit). Mata berbentuk demil dalam bahasa Jawa di sebut njait. Hidungnya mancung, mulutnya tertutup. Tangannya empat, dan dua berdekap dari yang dua lagi memegang senjata Trisula dan panah. Ia berdiri di atas Lembu Andhini. Selanjutnya dia bermahkota topeng, berjamang tiga susun, bergaruda membelakang, bersunting waderan, berselendang dan berkain.
Konon menurut cerita orang, wayang Betara Guru adalah buah ciptaan Panembahan Senapati di Mataram dan dimaksudkan sebagai candrasangkala (perhitungan angka tahun). Kalimat yang menyatakan waktu pembikinan wayang berbunyi Dewi dadi ngecis bumi dan adalah sama dengan 1451 tahun Jawa.
Menurut kepercayaan Jawa, lebih-lebih lagi kepercayaan dalang, maka wayang Betara Guru sangat dihormati dan dianggap sebagai wayang yang paling keramat. Oleh karena itu pun wayang Betara Guru dibedakan dari wayang-wayang lainnya. Misalnya saja hanya wayang Betara Gurulah yang diselubungi kain indah. Demikian pula sebelum dimainkan, wayang ini dikenakan asap dupa lebih dulu dan orang pun takut melangkahi batang pisang bekas menancapkan wayang Betara Guru.
Kepercayaan mengenai tokoh-tokoh wayang disebut pengetahuan pengiwa, kiri apabila berhubungan dengan tokoh-tokoh dewa dan disebut pengetahuan penengen, kanan, apabila berhubungan tokoh-tokoh lainnya yang bukan Dewa.

 Kepercayaan ini sangat mendalam dan diketahui orang secar merata mulai dari anak-anak hingga pada orang-orang dewasa, yang umumnya dengan jelas dapat mengkhayalkan tokoh-tokoh wayang yang indah dan yang bila ditampilkan di depan kelir oleh dalang, selalu diiringi bunyi gamelan yang merdu.
Penabuh-penabuh memainkan gamelan menurut pathet-pathet patokan-patokan tertentu, seperti pathet enan, pathet sembilan, pathet menyura. Setiap pathet menghasilkan suara yang berlain-lainan tetapi ini terlalu mendalam untuk dapat diuraikan di dalam buku yang tidak secara khusus membicarakan tentang gamelan. Yang perlu diketahui ialah, bahwa gamelan mampu mencerminkan perasaan suka duka, gembira, bangga, dan lain-lain.
Wayang berbagai-bagai wanda, roman mukanya, ini dapat dibeda bedakan menurut waktu, ketika wayang dimainkan, sore, malam, dan juga menurut semangat ceritanya, pada waktu sedang tenang atau pada waktu sedang murka.
Hal-hal mengenai wanda merupakan pengtahuan tersendiri dan teruntuk bagi mereka yang mengkhususkan diri dalam soal soal perwayangan. Tetapi sesungguhnyalah kalau wayang-wayang yang bersamaan wanda dan berbeda wanda dijajarkan, akan nampak perbedaan satu sama lainnya.
Gambar wayang Betara Guru dalam buku ini dimaksudkan sebagai berhadapan muka dengan orang yang melihatnya ini dapat ditilik dari cara kaki berdiri, tetapi karena diujudkan berupa wayang, maka Betara Guru pun diperlihatkan miring.

LEMBU ANDHINI
Lembu Andhini adalah seekor lembu betina, anak raja jin bernama Patanam. Karena ingin menguasai alam ini, bertapalah dia dan dipuja puja oleh penduduk di sekelilingnya. Akhirnya orang pun beranggapan, bahwa Lembu Andhini adalah Dewa juga.
Betara Guru mengetahui hal ini. Maka Lembu Andhini pun dikalahkannya dan dijadikannya kendaraan yang tak terpisah dari padanya, bahkan yang sejiwa juga dengannya (Lihat gambar). Tapi Lembu Andhini tak merasa senang diperlakukan demikian dan tak henti-hentinya dia berdaya-upaya untuk membalas dendam. Akhirnya Lembu Andhini menemukan akal untuk mengadudombakan Betara Guru dengan permaisurinya, hingga mereka sampai berperang. Sesudah permaisurinya dikalahkannya, menjadi tahulah Betara Guru bahwa berperangnya dengan permaisurinya itu adalah karena perbuatan Lembu Andhini sendiri. Menjadi murkalah Betara Guru. Disumpahinya Lembu Andhini sehingga berobah menjadi pelangi.
Takhayul mengatakan, bahwa pelangi berkepala lembu dan kalau dia kelihatan maka saat itu Lembu Andhini sedang minum air laut.
Sesudah kehilangan kendaraannya, Betara Guru merasa lemah, tetapi dia segera mendapat gantinya berupa seekor lembu jantan bernama Andana, anak seorang raksasa bernama Gopatama. Kemudian nama Andana digantinya dengan Andhini seperti kendaraannya yang semula.
 Lembu hutan disebut banteng dan lebih besar serta lebih kuat daripada lembu biasa. Di dalam cerita wayang, banteng yang marah karena terluka lebih berbahaya daripada lembu biasa. Maka itu pun seseorang yang berperang dengan gagah berani diumpamakan sebagai banteng terluka atau dalam bahasa Jawanya: Lir banteng ketaman kanin.
Banyak arca-arca dalam bentuk lembu berbaring yang tentunya diilhami oleh Lembu Andhini itu.
Menurut cerita, zaman dahulu lembu digunakan sebagai kendaraan, karena lembu sangat patuh dan kuat berjalan di tempat tempat yang sukar, sehingga layak untuk dijadikan kendaraan para pendeta.
Kata lembu juga banyak dipakai di dalam nama orang orang kenamaan. Seperti, misalnya, Lembuamiluhur, seorang raja di negara Jenggala; Lembupeteng, seorang keturunan raja yang hidup bersembunyi dan Lembusura, seorang raja raksasa di Gua Kiskenda, dan lain-lain.

Bathara Ismaya

Nama : Semar
Nama lain : Sang Hyang Ismaya
Karakter : Bijak

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sa...nghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Tetapi ada juga cerita yang menyebutkan bahwa semar merupakan titisan Sang Hyang Ismaya yang melakukan jalan kematian. Suatu ketika, Semar mendapat titah untuk turun ke dunia oleh Sang Hyang Tunggal. Oleh karena itu, Sang Hyang Ismaya yang semula berwajah tampan dan bertubuh apik berubah menjadi buruk rupa. Akan tetapi, sebelum turun ke dunia, Semar meminta seorang kawan. Dan Sang Hyang Tunggal bersabda bahwa Semar akan ditemani oleh Bagong yang tercipta dari bayangannya sendiri. lantas, turunlah mereka semua ke dunia. Dalam cerita selanjutnya, semar menolong petruk dan gareng dalam suatu pertempuran hebat keduannya. Mereka di obati dan diangkat menjadi anak. Jadilah mereka berempat dalam suatu kelompok bernama PUNAKAWAN.

Bathara Antaga

Nama : Togog
Nama lain : Sang Hyang Antaga, Ki lurah wijamantri


Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara
untuk memilih penguasa
kahyangan dari ketiga cucunya yaitu Bathara Antaga (Togog), Bathara
Ismaya (Semar) dan Bathara
Manikmaya (Bathara Guru). Untuk
itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari ketiga cucunya
tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung
Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan.
Pada giliran pertama Bathara Antaga (Togog) mencoba untuk
melakukannya,namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower
karena Togog salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak
meletus ketika gunung tersebut berada di dalam rongga mulut Togog.
Giliran berikutnya adalah Bathara Ismaya (Semar) yang melakukannya,
Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat
dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring
semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya
seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang
kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang
berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan
adalah Sang Hyang Manikmaya atau Bathara Guru, cucu bungsu dari Sang
Hyang Wenang.

Togog merupakan salah satu dari Punakawan sabrang. Pasangan tokoh wayang
yang satu ini adalah Bilung. Ia merupakan titisan dari Sang Hyang
Antaga, yang merupakan saudara dari Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang
Manikmaya.

Dalam cerita pewayangan, Togog digambarkan tidak bersetia dengan
majikannya. ia selalu saja beralih majikan satu ke majikan lainnya. Maka
dari itu orang yang suka gonta-ganti pekerjaan atau tidak setia dengan
majikannya dapat disebut Togog

Adapun Bathara Antaga (Togog) dan Bathara Ismaya (Semar) akhirnya
diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi
penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada
manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para
ksatria berwatak baik (Pandawa) dan Togog diutus sebagai pamong untuk
para
ksatria dengan watak buruk (Kurawa) .

Bathara Sambu

Nama : Batara Sumbu / Sambu
Nama Lain : Prabu Maldewa
Karakter : Bijaksana, adil, dan tidak pernah sombong
Senjata : -

Batara Sumbu merupakan putra tertua Batara Guru. Ia seorangdewa yang acap mengajarkan manusia cara bertanggung jawab dan menjalanikehidupan dengan tatanan. Ia juga Ia ditugaskan menguasai awa n. Sumbu tinggaldi Kayangan Swelagringging, salah satu dari Jonggringsaloka. Batara sumbu jugapernah turun ke dunia dan menjadi raja bergelar Prabu Maldewa. Ia kemudianmenurunkan Resi Wisrawa, ayah Dasamuka / Rahwana. 

Bathara Indra

Nama : Batara Indra
Nama lain : Prabu Maharaja Sakra, Swargapati, Diwapati, Meghawahana, Wasawa
Karakter : Berjiwa pemimpin, bertanggung jawab
Senjata : Bajra (Tongkat Petir)

    Batara Indra merupakan putra Batara Guru, dan Dewi umayi.
ia memimpin Kahyangan Kaendran, di mana hidup para Bidadari di Kahyangan Jonggringsaloka.
Ia menjadi Saksi Kelahiran Arjuna.
    Batara Indra juga memiliki peliharaan kesayangan yaitu seekor Gajah bernama Airawata.
Ia juga memiliki banyak sekali nama lain yaitu :
Prabu Maha raja Sakra (yang berkuasa)
Swargapati (raja surga)
Diwapati (raja para Dewa)
Meghawahana (yang mengendarai awan)
Wasawa (pemimpin para Wasu)
    Dalam satu lakon, ia pernah menjelma ke Arcapada dan menjadi raja di Negara Medanggana dengan gelar Prabu Maharaja Sakra.
Ia juga adalah dewa pembawa pahala untuk dibagi-bagikan kepada manusia yang berbuat kebaikan, menurut cerita dia juga adalah dewa cuaca, dan ia adalah dewa penguasa petir.

SANG HYANG BRAMA

SANG HYANG BRAMA
Sang Hyang Brama adalah Dewa api (brama berarti api), putra Hyang Guru. Ia bersemayam di Deksina. Karena kesaktiannya Hyang Brama dapat membasmi segala keburukan yang menjelekkan dunia ini dengan apinya. Ketika Dewa ini dilahirkan besar pengaruhnya terhadap dunia mengeluarkan api hingga menjulang ke angkasa. Setelah dewasa, ia beristrikan Dewi Saraswati, putri Hyang Pancaweda yang terkenal karena sangat cantiknya.
Dewa ini pernah bertakhta sebagai raja di Gilingwesi setewasnya Prabu Watugunung. Dewa yang bertakhta sebagai raja di dunia disebut ngejawantah, menampakkan diri.
Suatu ketika Hyang Brama menyalahi adat-istiadat Dewa karena memihak pada Betari Durga dan bermaksud untuk memusnakan keluarga Pendawa. Kehendak Betara Brama dimufakati oleh Durga. Sampai sampai juga putri Hyang Brama, Dewi Dresanala yang diperistri oleh Arjuna, diceraikan oleh Hyang Brama.
Kehendak Hyang Brama untuk memusnakan keluarga Pendawa terkabul. Malahan Hyang Brama dapat dikalahkan oleh anak Arjuna yang bernama Wisanggeni. Hyang Brama ditangkap oleh Wisanggeni dan diserahkan kepada Hyang Guru. Setibanya di hadapan Guru, Betara Brama menjadi sadar akan kekeliruannya. Ia diampuni oleh Hyang Guru dan kembali ke tempat kediaman para Dewa Kahyangan.
Menurut lakon ini meski Dewa sekalipun, kalau bersalah, bisa kalahkan oleh manusia biasa.
Sang Hyang Brama merupakan pangkal yang menurunkan Pendawa dan ia berbesan dengan Hyang Wisnu.
Sang Hyang Brama bermata kedondongan. Berhidung sembada (serba cukup) dan berbibir rapat.
Ia bermahkota, menandakan bahwa ia Dewa yang berkuasa. Ia tidak menyelipkan keris secara yang biasa dilakukan orang, melainkan diselipkannya di depan, oleh karena ia memakai haju yang menutupi bagian belakang badannya. Memakai keris semacam itu disebut yang berarti syak wasangka selalu, sehingga setiap waktu ada bahaya keris itu mudah dihunus. Memakai keris secara demikian dilarang ole penjaga kerajaan, oleh karena si pemakainya dianggap mencuri.
Menurut riwayat ini nampak, bahwa Dewa sekalipun bisa mengalami masa kalahnya dalam menghadapi manusia biasa, ini menandakan bahwa kebenaranlah yang selalu menang atas perbuatan salah manusia. Selagi Hyang Guru sebagai Dewa yang tertinggi bisa mengalami kekalahannya juga terhadap manunia biasa, hal itu disebabkan kerena salahnya perbuatan: Hyang Guru.

Sang Hyang Nurrasa

  Setelah lama berkuasa di Kahyangan Malwadewa, Sanghyang Nurcahya yang telah dikarunia seorang putra dengan Dewi Nurrini (Dewi Mahamuni), selanjutnya menyerahkan tahta Malwadewa kepada putranya yang telah beranjak dewasa, Sanghyang Nurrasa.
Selain menyerahkan kahyangan Malwadewa, Sanghyang Nurcahya juga menyerahkan seluruh kesaktian pusakanya, antara lain Cupu Manik Astagina, Lata Maosadi (Pohon Rewan / Pohon Kehidupan, Oyod Mimang, Kalpataru), dan Sesotya Retna Dumillah. Selanjutnya Sanghyang Nurcahya menciptakan Pustaka Darya, yang adalah serat (kitab) yang menyatu dalam budi. Serat (kitab) tersebut berwujud suara tanpa sastra (tanpa tulis). Membacanya dengan "cipta sasmita" (kemampuan batin). Berisi kisah perjalanan Sang Hyang Nurcahya sendiri. Setelah menyerahkan semuanya kepada Sanghyang Nurrasa, Sanghyang Nurcahya meraga menjadi satu dengan Sanghyang Nurrasa.

Dalam kisahnya Sanghyang Nurrasa menikah dengan Dewi Sarwati putri Prabu Rawangin raja jin Pulau Darma yang tidak lain adalah kakeknya. Dari perkawinannya itu, mereka dikarunia beberapa anak yang terlahir "Sotan" (suara yang samar-samar tanpa wujud). Masing-masing hanya terdengar suaranya saja. Suara-suara itu bersahut-sahutan seperti berebut siapa yang lebih tua.

Sanghyang Nurrasa kemudian mengheningkan cipta, masuk ke alam gaib. Dengan kesaktiannya, ia bisa melihat wujud putra-putranya itu. Dua suara yang lebih besar berada di depan, dan yang satu bersuara kecil berada di belakang. Keduanya bisa terlihat setelah disiram dengan Tirtamarta Kamandalu. Sanghyang Nurrasa akhirnya menetapkan, bahwa yang di belakang lebih tua daripada yang di depan.

Putra bersuara kecil yang ada di belakang itu diberi nama Sanghyang Darmajaka, sementara dua putra yang bersuara besar yang ada di depan, kembar diberi nama Sanghyang Wenang dan Sanghyang Wening. Peristiwa tersebut diceritakan terjadi pada tahun 2900 Matahari, atau tahun 2989 Bulan.

Beberapa tahun kemudian, Dewi Sarwati melahirkan seorang putra lagi, kali ini berwujud 'akyan' (jasad halus). Putra ketiga tersebut diberi nama Sanghyang Taya.

Setelah putra-putranya dewasa, Sanghyang Nurrasa mewariskan semua ilmu kesaktiannya kepada mereka. Namun diantara mereka hanya Sanghyang Wenang yang paling berbakat sehingga terpilih sebagai ahli waris Kahyangan Malwadewa. Sanghyang Nurrasa kemudian turun takhta dan menyatu ke dalam diri Sanghyang Wenang.

Sang Hyang Tunggal

Sang Hyang Tunggal menikah dengan Dewi Darmani putri Sang Hyang Darmajaka (Darmakaya) raja Kahyangan Keling (negeri Selong) yang tidak lain adalah kakak kandung Sang Hyang Wenang sendiri. Lalu Sang Hyang Tunggal dinobatkan menjadi raja di Kahyangan Keling menggantikan Sang Hyang Darmajaka. Dari perkawinannya dengan Dewi Darmani, Sang Hyang Tunggal dikaruniai beberapa orang anak dalam wujud 'akyan' (jasad halus) mereka adalah : Sang Hyang Rudra / Dewa Esa, Sang Hyang Dewanjali dan Sang Hyang Darmastuti.

Sang Hyang Tunggal yang gemar membaca Serat (kitab) Pustaka Darya yang berwujud suara tanpa sastra (tanpa tulis) itu menjadi tertarik dengan kisah perjalanan Sang Hyang Nurcahya (kakek buyutnya). Ia memutuskan untuk meniru sang kakek buyut, yaitu bertapa untuk mencapai cita-citanya menjadi penguasa di tiga lapisan dunia (Tribuana / Triloka). Kahyangan Keling pun ia serahkan kepada putera sulungnya yaitu Sang Hyang Rudra.

Sang Hyang Tunggal kemudian bertapa tidur di atas sebuah Batu Datar. Begitu heningnya ia bertapa, ketika terbangun ia telah berada di sebuah istana indah di dasar samudera. Tanpa sadar sebenarnya Sang Hyang Tunggal telah diculik oleh raja siluman kepiting bernama Sang Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) untuk dinikahkan dengan putrinya. Putri Sang Hyang Rekatama yang bernama Dewi Wirandi (Dewi Rekatawati) mengaku pernah bertemu dengan Sang Hyang Tunggal di alam mimpi, dan jatuh hati kepadanya. Karena itu adalah jalan untuk mewujudkan cita-citanya, maka Sang Hyang Tunggal menerima lamaran tersebut.

Sang Hyang Tunggal lalu membawa Dewi Wirandi (Dewi Rekatawati) ke istana Jonggring Salaka (Kahyangan Suralaya) di gunung Tengguru (Himalaya) untuk mendapat restu dari ayahnya. Kemudian Sang Hyang Wenang menyerahkan Kahyangan Suralaya kepada Sang Hyang Tunggal. Dan lalu Sang yang Wenang mokswa, tinggal di swargaloka awang-uwung kumitir.
Sang Hyang Tunggal kini bersemayam di Kahyangan Suralaya bersama kedua istrinya, Dewi Darmani dan Dewi Wirandi. Saat itu Kahyangan Suralaya masih belum berpenghuni lain selain mereka bertiga.

Pada suatu ketika, Dewi Wirandi yang hamil besar itu melahirkan, namun yang dilahirkan oleh sang dewi bukanlah sesosok bayi, tapi ia melahirkan sebutir telur.
Sang Hyang Tunggal bermujasmedi mengheningkan cipta masuk ke Swargaloka Awang Uwung Kumitir. Dihadapan Sang Hyang Wenang, ia menceritakan perihal telur yang dilahirkan oleh istrinya.
Sang Hyang Wenang memberi petunjuk dan memberikan air kehidupan ‘Tirta Kamandalu’ kepada Sang Hyang Tunggal.
Sesuai petunjuk ayahnya, telur itu ia puja hingga meretak dan pecah berserakan menjadi tiga bagian, kulit, putih dan merah telur. Sang Hyang Tunggal menyiramkan ‘air kehidupan’ Tirta Kamandalu secara bersamaan kepada bagian telur yang tercerai berai. Secara ajaib, kulit, putih dan merah telur itu berubah menjadi tiga sosok bayi. Sang Hyang Tunggal memberi nama masing-masing bayi yang tercipta, dari kulit telur diberi nama Sang Hyang Antaga, sedangkan bayi yang tercipta dari putih telur diberi nama Sang Hyang Ismaya, dan bayi yang tercipta dari merah telur diberi nama Sang Hyang Manikmaya. Kelak ketiga putra Sang Hyang Tunggal ini akan mempunyai peran penting dalam meramaikan Jagat Pramuditya (wayang).

Sang Hyang Wenang

 Sanghyang Wenang juga gemar bertapa dan olah rasa, sama seperti kakeknya dulu, Sanghyang Nurcahya. Segala macam tempat wingit ia datangi. Segala macam jenis tapa brata ia jalankan. Ia kemudian membangun istana yang melayang di udara, tepatnya di atas puncak Gunung Tunggal, sebuah gunung tertinggi di Pulau Malwadewa. Setelah 300 tahun bertakhta, ia akhirnya dipertuhankan oleh seluruh jin di pulau tersebut.

Pada saat itu hidup seorang raja bangsa manusia bernama Prabu Hari dari kerajaan Keling di Jambudwipa. Ia marah mendengar ulah Sanghyang Wenang yang mengaku Tuhan tersebut. Tanpa membawa pasukan ia datang menggempur Kahyangan Pulau Malwadewa seorang diri. Perang adu kesaktian pun terjadi. Dalam pertempuran itu Prabu Hari akhirnya mengakui keunggulan Sanghyang Wenang.

Prabu Hari kemudian mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Sahoti sebagai istri Sanghyang Wenang. Dari perkawinan itu lahir seorang putra berwujud akyan, yang diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Setelah dimandikan dengan Tirtamarta Kamandalu, keempat cahaya dalam tubuh bayi itu bersatu. Bayi tersebut kemudian menjadi sosok berbadan rohani yang memancarkan cahaya. Putra pertama Sanghyang Wenang itu diberi nama Sanghyang Tunggal. Peristiwa ini terjadi pada tahun 3500 Matahari.

Beberapa waktu kemudian Dewi Sahoti melahirkan bayi kembar dampit, laki-laki-perempuan, yang keduanya juga berwujud akyan, dengan diliputi cahaya. Keduanya kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandalu dan diberi nama oleh sang ayah. Yang laki-laki diberi nama Sanghyang Hening, sementara yang perempuan diberi nama Dewi Suyati.

Sementara itu, perjalanan kehidupan kakak kandung Sanghyang Wenang, yaitu Sanghyang Darmajaka telah menjadi raja di negeri Selong. Sanghyang Darmajaka mempunyai istri bernama Dewi Sikandi, putri Prabu Sikanda dari Kerajaan Selakandi. Kerajaan ini terletak di Tanah Srilanka.

Dari perkawinan tersebut Sanghyang Darmajaka mendapatkan lima orang anak, yaitu Dewi Darmani, Sanghyang Darmana, Sanghyang Triyarta, Sanghyang Caturkaneka, dan Sanghyang Pancaresi.

Sanghyang Darmajaka kemudian berbesan dengan Sanghyang Wenang, yaitu melalui pernikahan Dewi Darmani dan Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal sendiri kemudian menjadi raja Keling, menggantikan sang kakek, Prabu Hari.

Monday, November 4, 2013

Euis Setiawati - Ayun ayunan With PGH 2

http://www.youtube.com/v/aBjUFWZvuZY?autohide=1&version=3&feature=share&autohide=1&attribution_tag=VPI6rlWgimSIboqX1Jzx4A&showinfo=1&autoplay=1

Sunday, November 3, 2013

Euis Setiawati - Ayun ayunan With PGH 2

adassutisna Collection

http://www.youtube.com/v/aBjUFWZvuZY?autohide=1&version=3&feature=share&autohide=1&attribution_tag=VPI6rlWgimSIboqX1Jzx4A&showinfo=1&autoplay=1